Rabu, 20 Mei 2015

Ustad Abu Bakar Ba’asyir: Syariah Tak Perlu Musyawarah

Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Ustad Abu Bakar Ba’asyir menyatakan syariah Islam adalah harga mati yang harus diperjuangkan oleh umat Islam. Dengan syariah, umat Islam akan mendapatkan kemuliaan. Karenanya, tidak boleh ada sikap moderat dalam persoalan syariat. ’Tidak ada musyawarah kalau sudah syariah. Resep dokter saja tidak pakai musyawarah, apalagi ini resep dari Allah,’’ katanya dalam Forum Sosial Kajian Kemasyarakatan (FKSK) ke-30 yang mengangkat tema ’Konferensi Khilafah Internasional 2007dan Upaya penegakan Khilafah’ di Jakarta, Senin (27/8). Musyawarah, menurutnya, boleh dalam hal yang tidak diatur dalam syariah misalnya membangun fasilitas publik, tapi itupun harus tetap mengacu pada aturan Islam.

Acara rutin bulanan ini menampilkan tiga pembicara yakni Ustad Abu, Ismail Yusanto (Juru Bicara HTI), dan Ustad M Al Khaththath (Sekjen Forum Umat Islam). Habib Rizieq Shihab yang juga diundang, berhalangan karena sakit. Lebih dari 300 orang memadati ruang acara hingga banyak yang tidak kebagian tempat duduk.

Menurut Ustad Abu, orang beriman wajib berjuang agar syariah Islam bisa diterapkan. Usaha itu harus dilakukan dengan upaya maksimal sesuai kemampuannya. ’’Yang jelas thaghut harus diingkari dan wajib ditolak,’’ paparnya.

Ia menilai saat ini kerinduan umat Islam terhadap Islam terjadi di mana-mana. Salah satunya ditunjukkan dengan besarnya animo masyarakat untuk menghadiri Konferensi Khilafah Internasional 12 Agustus lalu. Karenanya, lanjutnya, tantangan ke depan pun akan semakin berat.

Ustad Abu kemudian mengutip sebuah kitab yang membahas tentang sepak terjang Yahudi. Dalam kitab itu digambarkan bahwa Yahudi akan mendirikan imperium dunia. Namun ada satu penghalang yang menghambat terwujudnya tujuan itu yakni Islam yang berbentuk kekuasaan. ’’Maka dibentuklah pemerintahan pura-pura yang seolah-olah memberi ruang kepada umat Islam untuk andil, tapi tidak akan pernah memberikan kepada umat Islam kekuasaan dalam arti yang sebenarnya,’’ tandasnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Ngruki Solo ini pun sepakat bahwa khilafah wajib ditegakkan. Menurutnya, keberadaan khilafah akan mampu mengatasi perpecahan umat yang terjadi saat ini. ’’Selama belum ada khilafah, umat Islam akan tetap terpecah belah. Itu sudah sunatullah,’’ tandasnya.

Ia pun membantah serangan pemikiran orang antisyariah yang menyatakan banyak penyimpangan dalam pemerintahan Islam masa lalu. Menurutnya, penyimpangan itu tidak bisa digeneralisasikan bahwa sistem Islam itu salah karena yang menyimpang pelaksananya. Ustad Abu mengatakan memang sistem khilafah Utsmaniyah mirip kerajaan dalam pemilihan khalifahnya, tapi para khalifah itu tetap berhukum kepada Alquran dan Sunnah, bukan yang lain.

Sementara itu Ismail Yusanto menyatakan apa yang dilakukan oleh HTI dalam berdakwah sebenarnya tidak istimewa. HTI hanya berjuang dalam rangka isti’nafil hayatil islamiyah (melanjutkan kehidupan Islam) yakni berusaha menerapkan Islam seluruhnya. Perjuangan itu dilakukan dengan proses pembinaan umat melalui penyadaran agar mau hidup dalam naungan Islam.

Ia menguraikan kembali substansi khilafah yakni syariah dan ukhuwah. Syariah adalah perkara mutlak yang harus dilaksanakan sehingga sikap muslim adalah sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami taat) karena itu merupakan kewajiban setiap Muslim. ’’karenanya, khilafah adalah the only choice. Inilah makna kedaulatan di tangan Allah,’’ tandasnya.

Ia membandingkan dengan sistem demokrasi yang bisa jadi membolehkan masuknya syariah ke dalamnya. ’’Tapi syariah dalam sistem demokrasi hanya menjadi option (pilihan), dan yang berdaulat adalah rakyat,’’ paparnya.

Sedangkan Ustad Al Khaththath mengajak umat Islam bersatu untuk menghadang upaya pecah belah. Ia juga mengajak umat untuk terus menyuarakan syariah dan khilafah di tempatnya masing-masing. Ia mengingatkan belakangan ada upaya untuk menghadang opini syariah dan khilafah yang dilakukan tidak hanya oleh kafir tapi juga oleh kalangan yang mengaku Islam.

Pada bagian akhir, Ustad Khaththath pun menepis pandangan beberapa intelektual dan beberapa tokoh Islam yang tidak setuju dengan khilafah. Ia meminta para jamaah bertanya kepada para tokoh itu tentang satu hal, ’’Siapa pemimpin (penguasa) pada zaman ulama-ulama seperti Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, dan lain-lain?
Al
29-08-2007, 19:17
Sejak kehancuran payung Dunia Islam sekitar 86 tahun yang lalu, saat kekhilafahan Turki Utsmaniyah dihapuskan, kaum Muslimin seperti kehilangan arah. Sejak itulah berbagai persoalan berupa penjajahan dan penindasan menimpa umat Islam hingga kini. Disadari atau tidak, umat Islam memerlukan kembali kepemimpinan yang dapat menyatukan kaum Muslimin sedunia dengan penegakan syariah secara kaffah.

Apakah ide khilafah sebagaimana yang tegak berdiri pada masa lalu bisa berdiri kokoh dan dapat diterima oleh seluruh umat Islam, terutama di Indonesia? Berikut wawancara Eramuslim dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto, di Jakarta.

Sebenarnya maksud dari khilafah itu apa, mungkin sebagian orang Islam belum mengerti?

Khilafah itu adalah kepemimpinan umat Islam sedunia atau kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimim di dunia untuk menegakan syariat Islam dan mengemban dakwah ke segenap penjuru dunia.
Dalam perkembangannya sejarah yang membentang selama lebih dari 1300 tahun, khilafah secara praktis telah berhasil menaungi dunia Islam dan menyatukan umat Islam seluruh dunia untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah, sehingga kerahmatan yang dijanjikan benar-benar terwujud.

Dalam konteks saat ini, khilafah tidak ada. Namun untuk mendirikan kembali, paling tidak diperlukan pemahaman yang sama, untuk kemudian bisa menyetujui, dan berupaya mewujudkannya. Dengan demikian akan ada proses politik untuk memajukan figur khalifah itu.
Tahapan untuk menghadirkan seorang khalifah dalam ide khilafah ini masih sangat jauh, baru pada tahap pertama. Bahkan orang banyak yang salah paham menganggap khilafah itu sebagai khilafiah, ataupun khilafah dengan khofifah.

ismail-y.jpg

Ada yang penilai konteks kekhilafahan ini tidak cocok bagi Indonesia?

Kami serahkan penilaian kepada tiap-tiap individu yang memberikan pendapat itu. Tapi kami sendiri justru mempertanyakan ketidakcocokan itu di mana. Inti dari khilafah itu adalah syariah dan yang kedua persatuan (ukhuwah). Syariah itu kita perjuangkan dengan keinginan mendalam untuk menggantikan sekularisme. Yang saya kira telah memimpin Indonesia selama 60-an tetapi tidak memberikan apa-apa kecuali berbagai persoalan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri secara tegas mengatakan, bahwa sekularisme itu tidak sesuai dengan Islam dan haram untuk mengikutinya. Karenanya harus ada yang diganti. Sebagai seorang muslim, gantinya yang paling cocok dengan syariah. Indonesia kan merupakan negeri muslim terbesar, dan kita sendiri merdeka dengan mengatakan atas berkah rahmat Allah. Allah yang mana yang dimaksud oleh negara mayoritas muslim, kecuali Allah SWT dengan segala kekuasaannya itulah seharusnya kita mengambil syariah itu sebagai pengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kemudian dari substansi dari khilafah yang kedua adalah persaudaraan (ukhuwah) atau persatuan. Kita menyerukan persatuan, penjagaan terhadap negeri muslim, termasuk Indonesia. Jangan sampai Indonesia terpecah belah dengan gagasan yang tidak cocok dengan Indonesia. Bahwa kemudian kita ingin mengamankan sebuah persatuan yang lebih besar. Saya kira tidak perlu keluar dari apa yang menjadi kepentingan negeri ini untuk membangun negeri yang kuat yang tidak mudah diekspolitasi oleh negara-negara asing, seperti yang tampak oleh kita saat ini. Karena itu gagasan yang ada pada khilafah itu substansinya adalah syariah dan ukhuwah sangat cocok untuk negeri ini. Itulah pendirian kami.

Bagaimana pandangan Anda terhadap pemerintah di Indonesia?

Pemerintah belum sepenuhnya bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan, diman terbentuk pemerintah yang aman dan amanah. Karena diakui memang sistem yang digunakan bukan khilafah dan bukan sistem Islam yang menegakan syariah. Hal itu diakui oleh mereka.

Apakah Anda melihat kondisi persaudaraan ataupun persatuan umat Islam sudah memprihatinkan?

Ukhuwah dalam beberapa hak ukhuwah itu terlihat, misalnya apabila sedang menyelenggarakan acara bersama, tetapi ketika sudah meyangkut kepentingan politik tampak sekali perpecahan itu. Misalnya pada hasil pemilu 2004 ada semacam ketidaksatuan pendapat antara umat Islam. Jadi sebenarnya sistem khilafah ini, bukan sistem yang baru, sudah pernah ada pada masa lalu dalam buku-buku dan kitab fiqih yang kita baca. Mengenai masa depan bangsa ini terbuka, saya kira apa yang ada dinegeri ini bukan tidak mungkin tidak bisa berubah.
Memang kita sering mengatakan ini jangan diubah, tapi toh faktanya UUD 1945 saja yang pada masa orde baru dilarang untuk diubah nyatanya mengalami perubahan. Jadi segala sesuatu yang dipandang kurang bagus dan ada alternatif yang lebih baik. Saya kira terbuka untuk kemungkinan perubahan, dan kita menawarkan sesuatu yang Insya Allah akan membuat Indonesia lebih baik.

Seperti diketahui Indonesia sangat beragam, bagaimana Hizbut Tahrir meyakinkan bahwa syariah itu penting dan bagus?

Pertama tentu kita akan meyakinkan bahwa mereka tidak akan pernah terusik dengan ketidakmuslimannya, meraka akan terjaga karena memang dalam syariat Islam ada aturannya untuk melindungi kehidupan non muslim. Tidak perlu dikhawatirkan dari syariah. Dalam kehidupan publik terkait dengan sistem ekonomi, politik dan sosial budaya mereka harus mengikuti syariah. Kita harus berfikir, bahwa kita berada dalam sistem yang baik. Sepanjang sejarah Islam, antara non muslim yang berada dalam sistem syariah dapat hidup dengan damai, sejahtera, serta adil, tidak ada masalah.

Bagaimana tanggapan dari ormas Islam lain terhadap ide khilafah yang dibawa oleh Hizbut Tahrir?

Pada umumnya ormas Islam di Indonesia menyambutnya dan mendukung ide tersebut.

Ada sejumlah kalangan berpendapat, ide khilafah ini akan mengancam NKRI?

Mengancam dari sisi mana? Khilafah dan syariah itu akan menggantikan sekularisme. Di mana sekularisme sudah membuat celaka negeri kita, justru yang mengancam itu sekularisme dan kapitalisme global. Fakta sudah nyata. Ukhuwah justru akan mensolidkan negara dari ancaman separatisme yang mengancam. Bentuk separatisme, seperti RMS dan Papua Merdeka itu yang mengancam, bukannya khilafah. Khilafah malah akan menyelamakan NKRI dari kehancuran. (Rz/Noffel)

[eramuslim.com; Minggu, 12 Agu 07 15:06 WIB]
Al
29-08-2007, 19:19
Parpol Islam harus konsisten pada komitmen memperjuangkan syariat.

JAKARTA — Menindaklanjuti rekomendasi Silaturahim Ulama se-Nusantara yang menyerukan penegakan syariat Islam di Indonesia, maka menjadi kewajiban bagi partai-partai berasaskan Islam untuk ikut memperjuangkannya lewat parlemen. Bila tidak, berarti selama ini Islam hanya menjadi komoditas politik mereka. Sekjen Forum Umat Islam (FUI), Muhammad Alkhaththath, mengatakan, perjuangan menegakkan syariat Islam bisa dilakukan melalui parlemen, asalkan mereka benar-benar menjadikan mimbar parlemen sebagai lahan dakwah. Menjadi tugas ormas Islam pula untuk mendakwahi partai-partai Islam. ”Ada yang bilang tak mungkin. Padahal bisa, dengan catatan anggota parlemen komitmen dengan syariat Islam. Satu catatan lagi, hanya bisa dari partai yang terbina dakwah Islam,” katanya, usai diskusi tentang khilafah Islam, di Jakarta, Senin (27/8).

Partai Islam juga harus menyiapkan konsep Islam dalam berbagai bidang seperti ekonomi, pengelolaan sumber daya alam, dan pertahanan. ”Kalau memang betul-betul mengaku partai Islam harus siapkan konsep dan mengkaji secara syariat. Jangan hanya label Islam saja, tapi harus benar-benar adopsi ide-ide Islam,” kata Alkhaththath.

Namun dia tak mau mengomentari apakah selama ini partai Islam sudah memperjuangkan ide-ide Islam atau sekadar tempel label Islam. ”Kita berprasangka baik saja,” ujarnya.


Perjuangan sulit

Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, juga meminta partai-partai Islam di parlemen untuk bersikap tegas dalam masalah syariat dan tak melakukan kompromi. ”Harus tegas partai-partai itu di parlemen. Kalau tak bisa tegas tak perlu jadi partai,” kata Ba’asyir.

Namun dia mengingatkan, memperjuangkan syariat Islam dalam sistem demokrasi akan sulit. Sebab, bisa saja aturan yang sesuai syariat atau notabene perintah Tuhan, akan divoting dan bisa kalah oleh suara makhluknya. ”Masak perintah Allah kalah dengan ‘resep dokter’. Apa ada resep dokter juga divoting?” ujar Ba’asyir.

Sementara Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, menegaskan perlunya sikap konsisten dari partai-partai Islam untuk memperjuangkan syariat, bukan hanya menjadikannya sebagai komoditas politik. ”Sekarang ini tak jelas, kadang gonta-ganti antara politisasi Islam dengan islamisasi politik,” kata Ismail. Namun dia sendiri mempertanyakan, apakah mungkin syariat bisa menjadi sistem dominan. Misalnya dalam ekonomi Indonesia yang menerapkan dual system, yaitu ekonomi konvensional dan syariah, padahal keduanya bertolak belakang.

Keduanya bisa hidup berdampingan bila dalam posisi supra struktur dan sub struktur. Tapi terbukti ekonomi Islam selama ini hanya menjadi subordinat sistem ekonomi konvensional. ”Kalau memang begitu kita harus terima syariah menjadi subsistem saja. Tapi ini tak bisa disebut melaksanakan syariah dan juga tak akan pernah menyelesaikan masalah ekonomi,” tandas Ismail.[rto; Selasa, 28 Agustus 2007]

Sumber : http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=304727&kat_id=3

GPI Award Diberikan kepada Ustadz Ba'asyir, Habib Rizieq, dan Yusril Ihza

Atas kegigihan memperjuangkan penegakan syariat Islam di Indonesia, Gerakan Pemuda Islam (GPI) memberikan GPI Award kepada tiga tokoh yang selalu konsisten memperjuangkan amar ma’ruf nahyi mungkar di tanah air. Ketiga tokoh itu yakni, Ulama Islam Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab, dan Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra.
Penyerahan penghargaan itu dilakukan di Sekretariat GPI, Jakarta, Sabtu sore, bersamaan dengan acara Muhasabah Ramadhan dan buka puasa bersama.
Sekjen GPI Robi Zakir Cahyadi mengatakan, Abu Bakar Ba`asyir menerima penghargaan karena kegigihan dan kesungguhannya dalam menerapkan Syariat Islam secara murni melalui aktivitasnya di berbagai organisasi yang berlandaskan Islam. Selain penghargaan GPI Award, Ba`asyir dinobatkan sebagai Panglima Besar Syariat Islam.
Sementara itu, Habib Rizieq mendapat penghargaan karena kegigihannya dalam menjaga kemurnian Islam. Habib dinilai berjasa dalam mengawal Islam di tengah merebaknya berbagai ajaran yang dianggap sesat.
Sedangkan, Yusril Ihza Mahendra merupakan tokoh yang dinilai konsisten memperjuangkan Syariat Islam di dalam sisten ketatanegaraan Indonesia. GPI menilai Yusril adalah sosok yang aktif di dalam dunia politik sekuler tanpa menjadi sekuler.
Semua penghargaan diterima langsung oleh nama tokoh yang memperoleh Award tersebut, akan tetapi penghargaan untuk Habib Rizieq diterima oleh Sekjen FPI Sobri Lubis, karena Habib Rizieq masih menjalani proses hukum di Polda Metro Jaya.
Menanggapi penghargaan yang diberikan kepada Pimpinan FPI tersebut, Sobri mengucapkan terima kasih dan memberikan apreasiasi yang setinggi-tingginya kepada GPI yang memperhatikan, ikut menilai serta memberikan dukungan sepenuh hati.
"Itu akan menjadi support tersendiri bagi FPI, khususnya bagi Habib Rizieq dan teman-teman yang masih ditahan di Polda Metro Jaya. GPI cukup bersimpati terhadap apa yang sedang dirasakan saat ini, " ujarnya.
Ia berharap, penghargaan ini bisa menjadi penyemangat organisasinya untuk tetap istiqomah dalam berjuang dijalan Allah untuk kepentingan Islam, menegakan amar ma’ruf nahyi mungkar.(novel)

Ba'asyir: Islam Harus Diamalkan Secara Murni dan Kaffah dalam Bingkai Khilafah

Ba'asyir: Islam Harus Diamalkan Secara Murni dan Kaffah dalam Bingkai Khilafah
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
NUSAKAMBANGAN (voa-islam.com) – Dari dalam penjara paling angker di Indonesia, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir tak surut menyuarakan perjuangan menegakkan Syariat Islam.
Kepada para Relawan Infaq Dakwah Center (IDC) Voa-islam yang membezuknya, Ustadz Abu, sapaan akrabnya, menitipkan wasiat tertulis untuk disebarluaskan kepada kaum Muslimin di luar penjara.
Dalam taushiyah tulisan tangan sebanyak tiga lembar itu, Ustadz Abu menyampaikan tiga prinsip dalam mengamalkan Dinul Islam.
Prinsip pertama, menurut Ustadz Abu, adalah mengamalkan Islam secara murni tanpa dikotori oleh ideologi dan ajaran apapun.
“Islam wajib diamalkan secara murni, syaratnya tidak boleh dicampur dengan ajaran atau ideologi ciptaan akal manusia seperti: demokrasi, sosialisme, nasionalisme, Pancasila dan lain-lain,” jelasnya sembari mengutip Al-Qur'an surat Al-An'am 153. “Sebab Dinul Islam adalah haq wahyu Allah, sedangkan semua ideologi ciptaan manusia adalah batil wahyu syaitan,” tambahnya.
Dalam penjelasannya, Ustadz Abu mengutip hadits riwayat Imam Ahmad bin Hanbal. Suatu ketika Rasulullah SAW membuat garis dengan tangannya kemudian beliau mengatakan: “Ini adalah jalan Allah yang lurus.”
...Islam wajib diamalkan secara murni, kaffah dan dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Setiap orang Islam yang tinggal di negara kafir wajib berjuang merubah negara itu menjadi negara Islam dengan cita-cita dakwah dan jihad...
Lalu beliau memberikan ilustrasi dengan membuat garis di sebelah kanan dan kirinya, kemudian beliau bersabda: "Jalan-jalan ini tidak ada satu jalan pun dari jalan-jalan tersebut melainkan di atasnya terdapat syaitan yang mengajak ke jalan itu." Kemudian beliau membaca ayat: “Yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya" (Al-An'am 153).
Prinsip yang kedua, lanjut Ustadz Abu, adalah mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah). 
“Islam wajib diamalkan secara kaffah yakni keseluruhan, tidak boleh dipotong-potong yakni ada yang diamalkan dan ada yang ditolak. Mengamalkan syariat Islam secara sepotong-potong adalah langkah syaitan yang dimurkai Allah SWT,” terangnya sembari mengutip Al-Qur'an surat Al-Baqarah 208.
Terakhir, yang ketiga, jelas Ustadz Abu, Islam harus diamalkan dalam bingkai Khilafah Islamiyah. “Islam wajib diamalkan dalam negara Islam atau Khilafah Islamiyah, sebab pemimpinnya orang Islam itu hanya Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman yang taat,” tegasnya. “Maka setiap Muslim hanya wajib mentaati Allah, Rasul-Nya dan ulil amri mukmin yakni pemimpin negara Islam atau khalifah.”
Menurutnya, prinsip khilafah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ma’idah 55 dan An-Nisa’ 59.
...jihad hari ini khususnya di Indonesia hukumnya fardu ‘ain. Kaum muslimin harus berjihad dengan jiwanya bagi yang mampu dan dengan hartanya...
Selain itu, masih dalam konteks Khilafah Islamiyah, Ustadz Abu menguraikan bahaya jika negara diatur dengan sistem kafir. “Islam tidak boleh sengaja diamalkan di negara kafir, sebab pemimpin negara kafir adalah thaghut, dia pemimpinnya orang kafir, yang peranannya memurtadkan orang Islam. Maka setiap orang Islam wajib menjauhi dan mengingkari thaghut, tidak boleh mentaatinya,” jelasnya dengan menyitir Al-Qur'an surat Al-Baqarah 257 dan An-Nisa’ 60.
Menilik nas-nas Al-Qur'an di atas, Ustadz Abu menyimpulkan bahwa memperjuangkan Khilafah Islamiyah adalah kewajiban setiap umat Islam. “Setiap orang Islam yang tinggal di negara kafir wajib berjuang merubah negara itu menjadi negara Islam dengan cita-cita dakwah dan jihad,” ujarnya.
Dalam konteks perjuangan di Indonesia, satu-satunya jalan untuk menggapai Khilafah Islamiyah yang diridhai Allah, menurut Ustadz Abu, adalah dengan dakwah dan jihad. “Maka jihad hari ini khususnya di Indonesia hukumnya fardu ‘ain. Kaum muslimin harus berjihad dengan jiwanya bagi yang mampu dan dengan hartanya,” tandasnya. [taz]
Baca Taushiyah Lengkap Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, klik DI SINI...!!!

SULITNYA MENEGAKKAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA

Umat Islam di Indonesia sudah sejak lama memimpikan tegaknya syariat dan hukum Islam. Bahkan salah satu motivasi kenapa banyak pahlawan gugur di medan perang dalam masa perjuangan fisik di masa lalu, tidak lain tujuannya agar bisa tegaknya syariat Islam.
Ketika sudah merdeka pun, putera-puteri Islam tetap memperjuangkan tegaknya syariat Islam lewat parlemen. Bergantian bentuk-bentuk upaya penegakan syariat itu terus diperjuangkan.
Namun sampai hari ini, sudah lewat enampuluh tahun kita merdeka, ternyata syariat Islam masih belum tegak di negeri kita seperti yang dicita-citakan oleh para ulama dan pendahulu kita di masa lalu.
Pandangan Kalangan Anti Syariah
Kalau dihitung-hitung, sebenarnya yang menjadi penghalang utama kenapa syariat Islam tidak bisa lantas tegak di negeri kita bukan siapa-siapa. Ternyata justru faktor penolakan dari umat Islam sendiri.
Tegaknya syariat Islam malah berhadapan dengan sebagian besar umat Islam. Justru mereka itulah yang dengan sangat gigih berada pada posisi menentang dan sangat anti dengan syariah Islam.
Pokoknya apa pun yang berbau istilah syariah, langsung diveto dan diberi kartu merah, termasuk nasib perda-perda yang dianggap bernuansa syariah di masa sekarang.
Padahal sebenarnya sadar atau tidak sadar, kita sudah menjalankan syariat Islam, bahkan saudara-saudara kita yang 'anti' syariah, tanpa sadar mereka sudah menjalankan syariah Islam.
Buktinya ke mana-mana mereka pakai baju dan celana. Seandainya mereka anti syariah Islam, maka ke mana-mana mereka pasti telanjang bulat, persis kambing dan kerbau.
Buktinya mereka menikah dengan sah, meski sering sinis dengan penegakan syariah. Kalau mereka tidak menjalankan syariah Islam, pastilah mereka tidak menikah tapi kumpul kerbau dan jadi pelanggan rumah bordil.
Buktinya mereka mereka ikut puasa di bulan Ramadhan, meski tetap sinis dengan syariah Islam. Kalau mereka tidak menjalankan syariah Islam, seharusnya mereka makan di siang hari bulanRamadhan.
Dan tanpa sadar, pada hakikatnya kita semua sudah mengakui dan bahkan menjalankan syariah Islam, walaupun masih parsial atau sepotong-sepotong.
Jadi kendala utama kita tinggal menyempurnakan kekurangannya saja, bukan memulai dari awal. Penyadaran seperti ini penting buat shock theraphy kepada saudara-saudara kita yang sok anti penegakan syariah Islam.
Dan problem terbesar dari penegakan syariah Islam memang bersumber dari mereka, yaitu saudara kita sendiri yang sebenarnya masih sujud setidaknya 17 kali sehari semalam kepada Allah SW, di mana dalam doa ifitiah yang baca, ada tersebutkan lafadz, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanya untuk Allah Rabb alam semesta."
Jadi tugas kita sebenarnya tidak terlalu sulit, karena secara prinsip dasar, umat Islam di Indonesia sudah mengakui bahwa dia telah berserah diri kepada Allah SWT. Mana mungkin orang yang sudah menyatakan diri seperti itu, tiba-tiba jadi penentang utama syariah Islam.
Terjebak Jargon
Salah satu kendala utama kenapa oranganti dengan syariah Islam adalah karena 'kalahnya' kita dari kekuatan kafir. Mereka telah dengan efektif berkampanye untuk memperburuk citra syariah Islam.
Hal itu bisa kita buktikan dengan mudah. Berapa banyak umat Islam yang kalau mendengar istilah 'syariah', tiba-tibaseolah tersihir dan merasa phobi, takut, serem, bergidik, dan deg-degan. Soalnya yang langsung terbayang adalah kapak tajam yang akan memenggal kepala manusia ala peradaban kuno.
Tapi itulah yang telah berhasil dilakukan oleh lawan-lawansyariah Islam. Mereka berhasil membuat tulisan, opini, ajakan, dan trend yang ujung-ujungnya membuat orang takut pada istilah syariah.
Maka seharusnya kita juga harus punya strategi yang menarik untuk mencuri perhatian khalayak. Kalau sekarang ini mereka sedang phobi dengan istilah syariah dan sejenisnya, toh kita tidak harus pusing kepala dan marah-marah sendiri. Mungkin tidak ada salahnya kita menggunakan istilah lain. Toh, apalah arti sebuah nama, pinjam celoteh si Shakespiere.
Misal yang sederhana, kita bisa gunakan istilah 'peradaban maju' sebagai ganti dari istilah yang terlanjur sudah membuat orang panas dingin. Kita bisa katakan mari kita bentuk masyrakat yang 'berperadaban maju', dengan tidak menyisakan ruang bagi penipuan, pencurian, termasuk perzinaan yang sangat hewani itu.
Dan yang dimaksud dengan 'peradaban maju' tidak lain adalah tegaknya syariah Islam, yang isinya bukan hanya potong tangan, rajam, cambuk dan penggal kepala, tapi memang sepenuhnya berisi kemajuan, keadilan, kemanusiaan, ketinggian derajat manusia, pemerataan kesejahteraan dan seterusnya. Silahkan teruskan sendiri.
Kecolongan
Dan ada satu hal yang saat ini perlu kita pikirkan bersama, terutama bagi para 'pendekar dan penegak syariah Islam'. Seandainya -ini cuma seandainya saja- seandainya, tiba-tiba para penguasa sekuler itu terguling atau entah dapat hidayah lewat mana, tiba-tiba mereka bilang, "Yah sudah, sekarang kami sudah tobat, ayo kita gunakan hukum Islam", lalu apakah masalah sudah selesai?
Apakah proses penegakan syariah Islam sesederhana itu? Apakah hanya dengan melengserkan para penguasa sekuler dan kemudian diganti jadi negara Islam, atau apa lah istilahnya, masalah sudah selesai?
Sementara kita tahu persis bahwasebenarnya masih banyak kendala utama dan justru esensial sekali, tapi selama ini luput dari perhatian kita. Perhatian kitaselama ini lebih banyak terkuras untuk memperjuangkan syariah Islam di level parlemen. Padahal kalau kita cermati dengan hati lapang dan luas, tetap ada wilayah kerja lain yang sebenarnya jauh lebih sulit untuk diperjuangkan.
Urusan mengegolkan syariah Islam di parlemen mungkin hanya satu dari seribu kendala tegaknya syariah Islam. Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada teman-teman yang sedang 'berjuang' di parlemen dengan menyerap begitu banyak sumber daya, tapi harus kita akui pe-er besar kita ternyata bukan di parlemen.
Pe-er besar kita justru ada di tengah diri umat Islam sendiri. Dan kejadian demi kejadian dalam garis lintasan sejarah seharusnya sudah cukup untuk menjadi guru besar kita, bahwa kekuasaan bukan berarti tujuan utama perjuangan. Dan bukan garis finish yang akan kita lewati.
Sebab berapa banyak kekuatan Islam yang pada akhirnya bisa mencapai puncak kekuasaan, tetapi ujung-ujungnya mereka harus menyerah pada kenyataan. Ternyata dengan naiknya sebuah kekuatan Islam ke puncak kekuasaan di suatu negeri, tidak ada kaitanya dengan tegak atau tidak tegaknya syariah Islam di negeri itu.
Bukankah Erbakan pernah menjadi perdana menteri di Turki? Bukankah Muhammad Dhia'ulhaq pernah berkuasa di Pakistan? Bukankah Iran dipimpin oleh para tokoh yang mengaku menegakkan Islam, meski dengan aqidah syi'ah yang banyak dikritik? Dan bukankah beberapa partai Islam juga telah menang di berbagai negeri? Bukankah kemenangan mutlak di pemilu telah pernah diraih FIS di Aljazair dan REFAH di Turki serta Jamiat Islami di Pakistan?
Tanpa mengecilkan peran dan jasa perjuangan mereka, tapi kalau kita amati, ternyata semua itu tidak selalu ekwivalen dengan tingkat penerapan syariah Islam. Setidaknya, kehidupan rakyat masih belum berubah, yang miskin masih miskin dan yang bodoh tetap masih bodoh. Hutang negara itu dan tingkat ketergantungan kepada negara adidaya yang dikuasai lobby yahudi masih tinggi. Produksi dalam negeri negara itu masih saja rendah, mereka masih menjadi negara yang nyaris 100 persen bergantung kepada belas kasihan (baca: jerat) negara adidaya.
Atau kalau kita lihat dari sudut pandang yang lain, misalnyadari sudut hukum hudud, ternyata kita juga tidak lantas menyaksikan hukum potong tangan, rajam, dan cambuk berlaku di negara itu. Mengingat bahwa sebagian teman kita punya pandangan sederhana, bahwa tegaknya syariah Islam cukup diukur dari pelaksanaan hukum hudud.
Lalu apa yang masih kurang? Dan apa yang salah?
Kalau salah sih tidak juga, dan sebenarnya tidak ada yang salah. Segala perjuangan untuk mencapai kekuasaan demi memperjuangkan syariah di level parlemen memang bukan tanpa arti. Kami pun tidak pernah berpikir untuk mengecilkan peran dan prestasi itu.
Tapi ada satu hal yang mungkin kita sering lupa, yaitu kekuatan fundamental di landasan yang menjadi fundamen esensial malah seringkali terlupakan. Fundamen itu adalah penyiapan umat untuk bisa mengenal, mengetahui, merasakan manisnya, dan merindukan tegaknya syariah Islam. Itu yang justru selama ini lepas dan luput dari perhatian kita.
Betapa banyak umat Islam yang belum tahu cara berwudhu, yang lainnya tidak tahu apa saja yang membatalkan shalat. Yang lain masih saja menikah tanpa wali, atau malah asyik berkampanye untuk poligami. Lima belas ribuan pertanyaan yang masih ke database kami cukup untuk membuktikan hal itu.
Janganlah kita bertanya tentang hal-hal yang lebih dalam dari syariah Islam. Bahkan hal-hal yang terlalu fundamental sekalipun masih saja hilang dari daya tahan umat ini. Jadi perang kita ini sebenarnya tidak vis a vis dengan orang kafir yang memushi agama Islam, tapi 'perang' kita ini lebih banyak untuk melawan 'kebodohan' dan 'keawaman' umat Islam dari syariah Islam itu sendiri.
Pelajaran dan kuliah syariah Islam itu boleh dibilang tidak pernah ada di negeri ini. Sebab pesantren kini sudah mulai kehilangan santri. Jumlahnya pun amat terbatas.
Kalau pun pernah belajar syariah, umumnya bangsa kita hanya mendapat porsi yang sangat kecil, yang sama sekali tidak cukup untuk sekedar bekal hidup, itu pun hanya semata kita dapat sewaktu masih kecil mengaji di TPA, dengan para pengajar yang tingkat kelimuannya di bidang syariah yang amat terbatas pula, kalau tidak mau dibilang memprihatinkan.
Walhasil, kendala terbesar kita malahan bukan musuh di luar, tapi justru ada di dalam diri kita masing-masing. Umat ini tidak pernah berupaya melahirkan generasi yang setidaknya 'melek' syariah.
Ketika teman-teman 20-an tahun yang lalu lalu menggagas berdirinya SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu), kami kira nantinya siswa-siswi itu akan diajarkan tentang syariah Islam secara intensif. Eh, ternyata kami harus kecewa lagi, karena umumnya tidak ada bedanya dengan SD biasa, kecuali jam pelajarannya ditambah di sana sini, plus baca Iqro dan sedikit tahfizd Quran.
Sehingga otomatis bayarannya juga 'terpaksa' bertambah pula. Sampai ada teman yang memplesetkan singkatan TERPADU menjadi TERpaksa PAkai DUit.
Tapi yang teramat menyedihkan, ternyataSDIT-SDIT itu juga pernah peduli untukmengajarkan bahasa Arab secara serius. Kalau pun ada, hanya sampai hadza dan hadzihi, tidak lebih. Yang jelas, lulus SDIT itu anak-anak kita tetap tidak paham makna bacaan Quran yang dengan fasih dilantunkan, tetapi tidak paham ketika membunyikan tulisan hadits nabawi, juga tetap tidak nyambung kalau berkomunikasi dengan teman-temannya dari negeri Islam di Timur Tengah lewat chat. Apalagi membaca rujukan buku syariah Islam. Bisa-bisa mereka bilang kitab-kitab itu salah cetak.
Terus anak-anak kita mau dibawa ke mana?
Bukan apa-apa, 20 juta komunitas yahudi di dunia ini sudah memastikan bahwa anak-anak mereka mutlak harus bisa bahasa Ibrani, karena pada bahasa itulah mereka bersatu dan memiliki kekuatan. Dan Talmud itu berbahasa Ibrani. Dan mereka bangga dengan bahasa Ibraninya. Dan nyatanya, tidak ada balita yahudi kecuali mereka paham dan bisa berkomunikasi dengan bahasa Ibrani.
Bagaimana dengan kita?
Jangan tanya, kenapa segitu banyak SDIT yang telah kita bangun, malah tidak mengajarkan bahasa Arab?
Padahal syarat mutlak seseorang bisa mempelajari dan memahami syariah Islam justru ada pada bahasa Arab. Mengingat bahwa Al-Quran itu turun dalam bahasa Arab. Dan mengingat pula bahwaRasulullah SAW tidak pernah berkata-kata kecuali dalam bahasa Arab. Sangat tidak masuk akal kalau hari ini kita teriak-teriak mau menegakkan syariah Islam, tapi kita tidak pernah peduli ketika anak-anak kita tumbuh tanpa bisa berbahasa Arab. Sungguh keterlaluan dan sangat tidak logis.
Kalau generasi terbaik yang kita persiapkan itu sudah sejak awal kita 'sunat' dan 'kebiri', dengan tidak peduli atas pelajaran bahasa Arab, maka sudah dipastikan kita inilah jagal-jagal yang membutakan mereka dari syariah Islam sejak dini.
Akhirnya kita hanya bisa marah-marah dan emosi sendiri, kita tuduh orang lain bersalah karena tidak mau menerapkan syariah Islam, Padahal pada hakikatnya kita sendiri yang telah 'membunuh' syariah Islam itu sejak dini.
Mungkinanda pernah lihat trilogi film hayal ala Hollywood, misalnya Terminator 1, 2 dan 3. Film itu menggambar musuh-musuh di masa mendatang melalui mesin waktu datang ke zaman kita untuk membunuh calon pemimpin masa depan, Jhon Connor. Musuh-musuh yang berupa robot itu merasa kewalahan menghadapi perlawanan sang jagoan di masa mendatang, karena itu untuk membunuh sang jagoan, mereka datang ke zaman sekarang dan ingin membunuh orang tuanya.
Hayalan ala Arnold Schwarzenegger itu itu sebenarnya sudah terjadi sekarang ini. Kitalah yang musuh yang telah 'membunuh' generasi mendatang itu dengan tidak pernah mempersiapkan mereka untuk mengerti syariah Islam. Salah satu cara 'keji' yang tanpa sadar kita lakukan adalah membuat mereka tetap buta dengan bahasa Arab dan pelajaran syariah Islam.
ApalagiSDIT-SDIT yang kita banggakan itu pun masih asyik dengan beragam teori pendidikan ala baratnya, dan nyaris sama sekali tidak punya pengajar bertaraf ulama, yangbisa melahirkan siswa semacam Al-Imam Asy-Syafi'i yang telah hafal Al-Muwaththa' ketika lulus SD.
Boro-boro hafal Al-Muwaththa', lha wong gurunya saja termasuk ummiyin, tidak bisa baca dan tulis Arab. Apalagi bicara dalam bahasa Arab. Kalau pun bisa baca, ya cuma bunyi tapi tidak paham.
Mohon maaf kepada para ikhwah yang punya SDIT atau guru pengajar, mungkin kami agak kasar, tapi mari kita merenung sejenak yuk, kita ini mau ke mana sih sebenarnya? Cintakah kita kepada syariah Islam? Kalau cinta, kenapa kok kita tidak berupaya melahirkan generasi yang mengerti syariah Islam?
Resep Tegaknya Syariah Islam
Jadi resepnya gampang, mari kita dirikan SDIT yang para pengajarnya adalah ulama, sehingga muridnya bisa lulus dengan telah mengantungi ijazah sungguhan, yakni telah membaca dan menelaah sekian puluh kitab-kitab kuning.
Mari kita urus dengan rapi dan profesional majelis-majelis taklim kita, baik di masjid mau pun di kantor-kantor. Carilah ulama yang ahli syariah untuk kita belajar ilmu syariah secara tetap kepada mereka, syukur kalau bisa sambil buka kitab. Setidaknya kajian syariahnya harus lebih padat. Jangan cuma melawak melulu. Segar sih segar, tapi kalau tiap hari melawak melulu, bisa-bisa kita saingan dengan Srimulat.
Semua itu mengerucut pada satu kesimpulan, tegaknya syariat Islam amat bergantung pada seberapa besar porsi ngajisyariah kita lakukan sekarang ini.
Mungkin ada baiknya kalau para ustadz yang terlanjur salah kamar, balik lagi ke masjid dan jamaah pengajiannya untuk mengajar syariah, dari pada mereka tiap hari ketemu dengan koboi-koboi politik di lembaga legislatif yang bikin rambut beruban. Serahkan saja pekerjaan itu pada orang yang ahli di bidangnya, sedangkan para ustadz ini bisa kembali menyapa jamaah pengajiannya. Sungguh semenjak para ustadz ini aktif di politik, banyak jamaah pengajian yang bagai anak ayam kehilangan induknya.
Itu sih sekedar usul, bisa diterima dan boleh saja dicuekin. Namanya juga usul, kadang terdengar usil di telinga.
Wallahu 'alam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

Ketum DDII: Politisi Ideal Bisa Mengamalkan Syariah Islam

Komitmen keIslaman seseorang yang mempunyai latar belakang pendakwah (Da’i), tak jarang menjadi luntur akibat terjun kekancah perpolitikan, karena itu komitmen penegakan syariah Islam diharapkan tetap ada di dalam jiwa seorang politisi itu.
Demikian pernyataan Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia KH. Syuhada Bachri dalam ‘Seminar refleksi Seabad M. Natsir Pemikiran dan Perjuangannya’, di Aula Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis(15/11).
Syuhada mencontohkan, komitmen keIslaman mantan Perdana Menteri M. Natsir sebagai seorang negarawan muslim, ulama intelektual, dan juga politikus muslim Indonesia belum bisa digantikan oleh siapapun, ketika beliau yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)berpulang ke rahmatullah.
"Pak Natsir adalah sosok yang unik, pemahaman terhadap pendidikan Islam sangat baik, namun ketika beliau berada di antara politisi, dia seperti seorang politisi yang handal, "ujar Syuhada.
Lebih lanjut Ia menuturkan, banyak teladan yang dapat diambil dari kiprah M. Natsir sebagai politisi yang bersih, karena berbagai keputusan politik yang diambilnya selalu dikonsultasikan dalam Istiqarahnya kepada Allah.
"Kalau politisi yang dai saat ini lebih sering melakukan sujud syahwi, kalau ada kebijakan yang salah seperti dalam sholat bisa dibenarkan dengan sujud itu, "tukasnya.
Sementara itu, Ketua Panitia Peringatan Satu Abad M. Natsir, Laode M. Kamaluddin membantah, bahwa rangkaian acara dimulai hari ini hingga Juli 2008 sebagai protes atas keputusan pemerintah yang tidak memberikan gelar pahlawan kepada perdana menteri pertama Indonesia.
"Kegiatan ini bukan untuk protes belum diberikannya gelar pahlawan kepada M. Natsir, "ungkap Laode.
Ia menambahkan, acara ini sudah dicanangkan jauh hari sebelum pengumuman gelar pahlawan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Laode menegaskan, tujuan peringatan ini agar masyarakat bisa mengambil teladan dan mendapatkan informasi yang benar tentang sejarah PM pertama Indonesia.
Acara seminar itu selain dihadari oleh Ketua Umum DDII, juga tampak Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Wakil Ketua MPRRI AM. Fatwa, dan juga mahasiswa dari Sekolah Tingi Islam Dakwah M. Natsir. (novel)

KH. M Al-Khaththath: FUI Terus Dukung Parlemen yang Terapkan Syariat


KH. M Al-Khaththath: FUI Terus Dukung Parlemen yang Terapkan Syariat

 

 

 

 


JAKARTA ( VoA-Islam) – Umat Islam hendaknya saling mengisi, saling menguatkan dan tolong menolong dalam kebaikan. Masih segar dalam ingatan, pada tahun 2006, ormas Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dihadapkan pada isu ancaman pembubaran oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan kekuatan umat Islam. Percayalah, umat Islam akan kuat jika bersatu, sehingga isu pembubaran tidak dapat dilaksanakan.  
“Ormas Islam harus saling menguatkan. Ketika ormas Islam dilemparkan sebuah stigma radikal atau teroris, misalnya, sebaiknya tidak bersembunyi di tempat yang gelap. Ormas Islam yang mendapat stigma itu harus menyatu dengan gerakan Islam lain yang sejalan, seperti melakukan kegiatan bersama dengan Forum Umat Islam (FUI), “ ujar Sekjen FUI KH. Muhammad Al-Khaththath.
FUI adalah sebuah forum bersama untuk melakukan koordinasi, silaturahim, dan sharing antara ormas Islam yang kuat maupun yang lemah. Terhadap ormas Islam yang lemah, akan mendapat advokasi  terkait masalah yang dihadapi, sehingga eksistensinya menjadi lebih kuat. “FUI sendiri tidak akan menjadi ormas Islam sendiri,” kata Al Khaththath.
Bagi Sekjen FUI, ia tidak mempermasalahkan jika ada ormas Islam besar  membuat semacam forum yang sama untuk menandingi FUI. “Nggak ada masalah. FUI kan cuma forum yang berusaha untuk memfasilitasi ormas-ormas Islam yang ada dalam rangka koordinasi gerakan guna memperjuangkan Islam.”
FUI Pro Syariat, Bukan Demokrasi
Tak dipungkiri, sebagaian gerakan Islam terbelah antara yang pro demokrasi dengan yang kontra. “FUI tidak menyatakan pro demokrasi, tapi pro syariat. Perlu diketahui, KTP yang kita miliki juga bagian dari demokrasi, atau uang yang kita gunakan selama ini juga bagian dari demokrasi,” kata Al Khaththath.
Ini bukan persoalan mendompleng demokrasi atau Pancasila. NKRI itu milik umat Islam, bukan milik orang kafir ataupun sekuler. Rakyat NKRI mayoritas adalah muslim, namun harus diakui, sekarang ini NKRI terkena penyakit sepilis (sekularisme, liberalisme dan pluralism). Untuk itu diperlukan proses penyadaran.
Menurut Al Khaththath, realitanya, yang tersedia adalah Pancasila dan UUD 45. “Kita bisa kita merima Pancasila, kalau tafsirannya Islam. Kalau tidak Islam, tentu kita tolak. Kata di dalam Pembukaan UUD 45 adalah berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa. Kita juga tidak menerima mentah-mentah, jika Pancasila ditafsirkan secara sekuler. Apalagi, jika Pancasila justru tidak memperbolehkan umat Islam menerapkan syariat Islam. Tapi, jika Pancasila memberi keleluasaan umat Islam untuk menerapkan syariat Islam secara formal konstitusional, ya kita terima,” papar Sekjen FUI.
Dikatakan Al Khaththath, harus diakui, orang yang berada di parlemen dan pemerintahan adalah yang punya power atau wewenang untuk menjalankan pemerintahan. Itu yang tersedia. Begitu juga, jika kita tinggal di kerajaan, yang berkuasa adalah raja. Maka, tugas kita sebagai pengemban dakwah amar maruf nahi mungkar adalah mengajak dan menyeru penguasa untuk menerapkan syariat Islam.
“Jadi, umat Islam harus tetap mendorong lahirnya Perda yang bernuasakan syariah. Parlemen itu hanya media saja. Parlemen baru dikatakan batil, bila membuat hukum yang bertentangan dengan Islam. Tapi, kalau parlemen menerapkan hukum Islam, jangan dikatakan batil. Kemudian, tidak bisa juga dikatakan, kita tidak boleh menerapkan syariat, karena yang membuat adalah parlemen,” ujarnya.
Al Khaththath memberi contoh, lebih baik mana khalifah yang tidak menerapkan syariah, atau parlemen jika menerapkan syariah. Jadi bukan institusinya, tapi penerapan syariahnya. “Selama ini umat Islam kalah dalam retorika dan komunikasi politik. Tak heran, jika kaum sekuler yang selalu berkuasa, karena kita tidak mau memulai untuk memiliki capres syariah. Jika kita punya capres syariah,umat Islam tidak perlu cape lagi mengurusi aliran sesat.”
Menyinggung soal idad, kata Al Khaththath, hukumnya wajib, meski ada resiko yang harus ditanggung.  “Moggo saja kalau ada yang berani. Sebetulnya idad yang paling bagus itu dilakukan oleh negara. Tapi saya tidak akan melarang, jika diantara kaum muslimin yang melakukan idad dengan segala resikonya. Desastian

Secara Historis, Tuntutan Penerapan Syariat Islam Bukan Mengada-ada

Secara Historis, Tuntutan Penerapan Syariat Islam Bukan Mengada-ada

 

 

 

 

JAKARTA (VoA-Islam) – Islam sebagai ajaran yang dikenalkan secara utuh menghasilkan perubahan total dalam kehidupan masyarakat, mulai dari perubahan ideologis, perubahan pola pikir, perubahan gaya hidup, hingga kepada penerapan syariat sebagai aspek hukum dalam Islam.
Menurut Ustadz Daud Rasyid, bicara penerapan syariat dalam perspektif sejarah, tidak satupun negeri yang Islam masuk di dalamnya tidak menerapkan syariat. Termasuk konteks sejarah nusantara, dimana yang menjadi hukum positif di kerajaan-kerajaan itu ialah hukum syariat. Leteratur yang dipakai dalam memutuskan hukuman di pengadilan adalah literature fiqih dengan madzhab Syafi’i. Fakta sejarah itu terdapat dalam karya monumental “Rihlah Ibnu Bathuthah”.
Penerapan hukum fiqih madzhab Syafi’i itu berlangsung cukup lama hingga datang pemerintah kolonial Belanda yang menghapuskan pemberlakuan syariat dan menggantinya dengan hukum Belanda, Hukum syariat hanya dibatasi untuk bidang-bidang : keluarga, seperti nikah, talak, rujuk dan sejenisnya.
“Jadi, perlu ditegaskan disini bahwa penerapan syariat di negeri ini mempunyai akar sejarah yang kuat, bahkan mendahului sejarah hukum Eropa itu sendiri. Oleh karena itu, tuntutan penerapan kembali syariat Islam bukan sesuatu yang mengada-ada atau tuntutan baru yang tidak ada landasannya. Akar sejarahnya sangat kokoh, bahkan seumur dengan bangsa ini,” ujar Ustad Daud.
Dalam sejarah perjuangan internasional, perjuangan penerapan syariat Islam sudah dimuiai sejak lahirnya Sarekat Islam. Secara resmi, hal ini pun tercantum dalam “Piagam Jakarta” yang berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Ini disetujui bersama oleh wakil-wakil Islam, nasionalis, dan Kristen.
Sebelum diproklamasikannya kemerdekaan RI, dibentuklah BPUPKI. Dalam sidang-sidang BPUPKI yang menentukan dasar negara, anggota-anggota BPUPKI terbelah menjadi dua: pihak Islam yang mengusulkan agar negara ini menjadi negara Islam, dan pihak nasionalis yang ingin pemisahan urusan kenegaraan dengan urusan keagamaan. Kedua usul ini sama kuat. Namun, akhirnya terjadilah kompromi antara kedua pihak yang menghasilkan isi “Piagam Jakarta”.
Dengan isi “Piagam Jakarta” itu, keinginan kedua belah pihak dapat terjembatani. Jadi, sebenarnya isi “Piagam Jakarta” itu sendiri adalah sikap mundur selangkah dari kelompok Islam di BPUPKI.
Apa yang terjadi kemudian, setelah Indonesia merdeka? Rumusan kompromis itu dihapus pada sidang PPKI, sehari sesudah proklamasi. Aktor intelektual dari upaya penghapusan ini adalah M. Hatta sendiri. Ia mengklaim didatangi salah seorang opsir angkatan laut Jepang yang mengaku sebagai utusan dari kelompok Kristen dari Indonesia Timur.
Katanya, mereka menolak rumusan “Piagam Jakarta” tadi. Anehnya, opsir Jepang yang dimaksud, Letnan Kolonel Shegetada Nishijima, yang menjumpai Hatta sore hari pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, merasa tidak pernah menjadi “kurir” golongan Kristen Indonesia Timur.
“Yang pasti, permainan politik beberapa elit yang tidak menghendaki diberlakukannya syariat Islam, sesungguhnya bukanlah orang-orang di luar Islam, melainkan dari dalam umat Islam itu sendiri. Sangat menyedihkan,” ujar Daud Rasyid. Desastian
voa islam